the legend

Senin, 29 Juni 2009

Raden Sandhi

kisah kematian Raden Sandhi. Menurut kepercayaan orang Sambas, bahwa Raden Sandhi itu bukannya mati, mayatnya dibawa orang kebenaran, orang halus, orang Paloh. Sebelum saya ceritakan Raden Sandhi itu, lebih baik saya ceritakan tentang Paloh, yakni tentang keangkerannya. Sampai saat ini mungkin orang daerah Sambas di sini masih percaya dengan keangkerannya, soal - soal mistik begitulah kita sekarang.

Menurut kepercayaan orang daerah Sambas kalau kita akan pergi ke Paloh, pertama kita tidak boleh berteriak - teriak atau memekik di dalam hutan. Kedua bersiul juga dilarang. Ketiga berkata tidak baik, Nah begitulah cerita orang Sambas tentang daerah Paloh.

Nah, sekarang saya akan bercerita tentang kematian Raden Sandhi tadi. Raden Sandhi itu termasuk keluarga orang yang baik - baik beliau keturunan Raja - raja Sambas. Kelakuannya sangat berbeda dengan saudaranya yang lain. Salah satu kebiasaan yang paling disukai dan sering dilakukannya yaitu berburu. Kalau sudah berburu biasanya dua atau tiga hari baru pulang ke rumah. Dan hal inilah, sekali - kali orang tuanya memberi teguran.

Pada suatu ketika, Raden Sandhi dipanggil oleh orang tuanya dan berkata : ” Sandhi, kamu aku lihat lain dari pada saudara - saudaramu. Selalu saja kau pergi kehutan, atau sampai ke daerah Paloh berburu mencari burung, kijang, pelanduk. Hasilnya tidak ada juga. Jadi aku rasa lebih baik kamu tinggal di rumah saja, itu anak istrimu siapa yang akan mengurusnya. Kami memang sanggup memberinya makan, tapi kamu sebagai suaminya, kamu yang lebih banyak memberi perhatian, mendidik. Baik itu kepada anak - anakmu, istrimu, itu adalah tanggung jawabmu.

Raden Sandhi, orangnya pendiam dan tidak suka berbicara yang tidak ada gunanya, terlebih - lebih kepada orang tuanya dan bagaimanapun kemarahan orang tuanya tadi, ia diam saja, namun di dalam hatinya karena itu telah menjadi kebiasaannya yang suka berburu. Pada suatu hari Raden Sandhi seperti biasa, akan pergi berburu senjatanya yang akan dipergunakan untuk pergi berburu. Lalu ia pergi menemui istrinya, ” Oi, hari ini, aku akan pergi berburu lagi.

Entah satu hari, dua hari aku tidak tahu. Cuma aku minta, supaya kepergianku itu, jangan kau ceritakan dengan ayah, dengan ibu,” mengapa pula, kata istrinya, saya baru saja dimarahi oleh ibu, supaya jangan pergi berburu, padahal hatiku selalu saja ingin pergi berburu. Jadi seorang istri haruslah patuh terhadap suami,”. Mengerti, jawab sang istri. Hanya jangan lama - lama. Maklumlah di dalam hutan, mesti ada sesuatu yang dikhawatirkan,”. Tidak, aku pergi tidak terlalu lama, mungkin hanya dua hari saja.

Baiklah, kata istrinya.” Nanti kalau ayah bertanya’, katakan aku tidak pergi kemana - mana. Hanya pergi dekat saja. Hanya nanti kalau kamu akan pergi bawalah teman. Jangan pergi sendiri, maklumlah di dalam hutan. Binatang banyak, seperti ular, beruang, dan binatang lainnya yang dapat menyusahkan kita, kata istrinya.

”Ialah aku membawa kawan, tapi siapakah kawanku, kata Raden Sandhi. Maka berangkatlah Raden Sandhi tadi. Dengan kedua orang temannya pergilah mereka bertiga berjalan. Mereka berjalan keluar masuk hutan, keluar masuk jurang tidak juga bertemu dengan binatang yang dicari. Apalagi rusa, kijang, pelanduk, burungpun tidak dijumpai. Karena belum juga ketemu dengan binatang buruannya dan sudah menjadi sifat Raden Sandhi, kalau belum dapat belum pula ia puas. Makan pun Raden Sandhi lupa apalagi minum. Akhirnya sampailah mereka ke daerah Paloh. Sesampai di Paloh, terdengar burung, Ciit .... Ciit ....... Ciit”. Kawan Raden Sandhipun berkata, ” Den itu ada bunyi burung.

”Mana ? ”itu, di batang kayu.” Raden Sandhipun melihat ke atas. Dilihatnya benar, ada seekor burung, namun burung itu sangat aneh bentuknya. Sangat berbeda dengan burung - burung yang lain. Tidak juga besar, tidak juga kecil. Burungnya bagus, cantik benar burung itu. Warnanya bermacam - macam, ada hijau, ada merah, kakinya kekuning - kuningan. Pendek kata menarik, sangat menarik hati.

”Ku sumpit saja burung itu. Kalau ku sumpit, mudah - mudahan burung itu tidak mati dan aku dapat memeliharanya,” kata Raden Sandhi. Kemudian di sumpitnya lah burung itu dan kena, tepat di kepalanya dan matilah burung tersebut. Sedihlah hati Raden Sandhi karena burung tersebut mati. ” Sayang, burung itu, kalau tidak mati akan kupelihara”. Apa boleh buat, walaupun mati akan kubawa pulang. Kata Raden Sandhi pada temannya.

”Wah, wah, kita pulang saja, sudah hampir dua hari kita berburu tidak juga mendapat hasil buruan hanya dapat burung satu ekor saja. Akan kusalai, agar bulunya tidak rusak sewaktu dibungkus dan akan kusimpan saja. ” Iyalah, ” jawab teman - temannya

Pulanglah Raden Sandhi, sampai di rumahnya Raden Sandhi bercerita, badannya kurang sehat, mengapa ya badanku kurang sehat, bulu kuduk terasa berdiri. Mungkin aku sakit. Pada mulanya tidak merasakan apa - apa sampai beberapa hari kemudian, badan Raden Sandhi masih juga belum sehat. Raden Sandhi merasakan demam setelah pergi ke Paloh !. Lalu dia pergi menghampiri istrinya, ada apa dengan badanku, kata Raden Sandhi kepada istrinya. Sakit barangkali aku ini.” Sudah tiga hari badanku ini panas dingin, bulu kuduk aku terasa berdiri, rasanya tidak nyaman sekali, apa ya obatnya ?”. kata Raden Sandhi kepada istrinya. Tidak tahu, jawab istrinya. Cari dukun saja yang dekat - dekat sini. Maka sang istri mencari dukun untuk mengobati suaminya tadi. Tidak lama kemudian datanglah sang dukun dan bertanya kepada Raden Sandhi, ” Sakit apa den ?”.

”Entahlah, badan aku ini rasanya kian hari kian melemah saja, bulu kuduk terasa berdiri. Demam ada juga tapi badan rasanya sakit semua. Raden dari mana, sampai sakit begini ? tanya sang dukun kepada Raden Sandhi. Saya pergi berburu ke Paloh, pulang dari berburu, badan saya terasa panas dingin, rasanya bulu merinding. Oh kalau begitu Raden terkena orang halus barangkali, kata sang dukun pula.

Lalu diobatinya Raden Sandhi, sesudah diobati dengan obat orang kampung tadi, dengan berjenis - jenis ramuan yang terbuat dari kayu - kayu, lalu dibacakannyalah mantra. Setelah dukun tadi pulang, sakit Raden Sandhi bukannya sembuh, tapi penyakitnya bertambah parah, akhirnya Raden Sandhi tidak mau makan.

Setelah beberapa lamanya Raden Sandhi sakit dan sakitnya tidak juga sembuh, akhirnya Raden Sandhi meninggal dunia. Layaknya orang meninggal tentulah dimandikan, dikapankan lalu dikuburkan seperti layaknya upacara penguburan. Setelah upacara penguburan selesai dilaksanakan, pada malam harinya istri Raden Sandhi mendapat mempi, dalam mimpi itu, mengatakan bahwa sebenarnya Raden Sandhi tidaklah mati, Raden Sandhi dibawa oleh orang halus pergi ke Paloh, untuk dijadikan raja oleh orang halus di sana karena raja mereka sudah tua, Raden Sandhi akan dijadikan menantu dan raja orang halus di tempat tersebut.

Yang dimakamkan itu bukannya Raden Sandhi, melainkan hanya sebatang kedebok pisang saja dan itulah yang ditanam, kata orang halus di dalam mimpi sang istri. Orang halus tadi juga berpesan untuk memberitahukan mimpinya kepada orang tua Raden Sandhi.

Lalu tersadarlah sang istri dari mimpinya, dan kemudian bercerita kepada kedua orang tua Raden Sandhi beserta keluarganya. Bahwa yang dikuburkan itu bukanlah jasad tubuh Raden Sandhi melainkan hanya sebatang gedebok pisang dan suaminya dibawa pergi ke paloh oleh orang halus untuk dinikahkan dengan anak Raja Paloh. Begitulah cerita istri Raden Sandhi, maka gemparlah mereka mendengar cerita sang istri tadi. Sang ayah menyesali kelakuan Raden Sandhi yang sudah sering diingatkan untuk tidak pergi berburu, apalagi pergi berburu sampai ke Paloh.

Sudah kita tahu bersama, bahwa Paloh itu tempat orang - orang kebenaran, apalagi kedatangannya ke Paloh hanya untuk pergi berburu, membunuh binatang lagi. Namun apa daya semuanya telah terjadi. Mungkin itu sudah suratan takdir Raden Sandhi,” kata ayahnya.

Kita teruskan cerita kita dahulu, setelah Raden Sandhi dibawa ke Paloh, Raden Sandhi dinikahkan dengan anak Raja Paloh. Pada masa itulah Raden Sandhi menjadi Raja Paloh dan berkuasa di daerah Paloh. Pada saat sekarang ini juga masih banyak masyarakat yang mempercayainya dan menurut cerita apabila akan pergi ke Paloh, jangan lupa menyebut nama Raden Sandhi, sambil berkata, ” Den, Raden, kami datang ke Paloh daerah kekuasaan dato’ ( panggilan untuk Raden Sandhi ) kami juga masih keluarga dari Sambas, janganlah kami diganggu”, begitlah bunyi ucapannya. Selain itu ada juga syarat yang harus dilakukan bagi yang akan ke Paloh yaitu

1. Jangan sekali - sekali berani berteriak - teriak

2. Jangan sekali - kali bersiul - siul itu tabu sekali dilakukan

3. Jangan sekali - kali membunuh binatang yang berguna seperti burung ( jenis apa saja ) dan yang lainnya

Selain itu juga tidak boleh berbicara kotor dan bersiul - siul. Apabila hal - hal semacam ini dilanggar maka akan ada akibatnya. Begitulah, ceritanya. Jadi kepercayaan itu masih tetap dipegang hingga saat ini. Orang yang masuk ke daerah Paloh tidak berani sembarangan. Daerah itu ( Paloh ) dijaga oleh Raden Sandhi. Benar atau tidaknya cerita ini’, Wallahualam.

PUTRI ANAM

Ini cerita tentang seorang putri dengan Pak Rusa’. Putri tadi bernama Bussu. Kisah ini bermula dari suatu hari Putri Bussu melayangkan kipas ke rumah Pak Rusa’. Kipas tadi menyangkut di rumah Pak Rusa’.

” Putri, putri buatkan aku bubur ya .....”, kata Pak Rusa pada sang putri ” Baiklah, Pak Rusa’, jawab sang putri

Dibuatkannyalah bubur, namun belum juga dimakannya sampai menjelang siang dan bubur tersebut menjadi dingin. Tidak lama kemudian bubur itupun dimakan oleh Pak Rusa’. Tidak lama kemudian Pak Rusa’ bertanya kepada tuan putri.

” Apa yang berbunyi riuh rendah tuan putri? tanya Pak Rusa’

” Itu orang menumbuk emping disiang hari, jawab Sang Putri’

” Apa yang dikipas - kipas, tuan putri? tanya Pak Rusa’

” Orang sedang menyapu lantai di siang hari, Pak Rusa’ kata Tuan Putri"

” Apa yang terang benderang, tuan putri ? ” tanya Pak Rusa’

” Bintang Timur merupakan tanda hari akan siang, Pak Rusa, kata Tuan Putri

” Apa yang bergoyang goyang, tuan putri ? ” tanya Pak Rusa’

” Daun simpur ditiup angin, Pak Rusa’., kata Tuan Putri

” Apa yang bergerak gerak, tuan putri ? tanya Pak Rusa

” Hanyut kayu besar dari hulu Pak Rusa”, kata Tuan Putri

” Masak bubur lagi kah tuan putri ? tanya Pak Rusa’.

"Benar sejak dari tadi sudah dimasak, hingga dingin rasa bubur itu, kata tuan putri.

Lalu Pak Rusa’ makan bubur itu sampai habis. Jika tuan putri pulang, ambillah labu barang sebutir disitu.

” Iya, jawab Tuan Putri.

” Yang ringan saja tuan putri. Nanti sesampai di rumah tutup pintu, tutup jendela, turunkan kelambu lalu belahlah dua labu tersebut. Setibanya di rumah tuan putripun menutup semua pintu dan jendela serta menurunkan kelambu, maka dibelahnya labu tersebut. Betapa terkejutnya sang putri ternyata penuh dengan emas di dalam labu tersebut.

Timbul keinginan kakak sang putri yang bernama Putri Anam untuk memiliki labu tersebut. Kemudian bertanyalah Putri Anam kepada Putri Bussu, dimana ia memperoleh labu itu ?. Putri Bussupun menjawab bahwa ia membuatkan bubur Pak Rusa. Kemudian lanjut Putri Bussu bahwa kipasnya tersangkut di pohon jeruk Pak Rusa’ lalu ia bercerita. Kipas saya sangkut di pohon jeruk Pak Rusa’, katanya.

Kemudian Putri Anampun mencontoh apa yang telah Putri Bussu ceritakan kepadanya, Putri Anam juga langsung melayangkan kipas ke rumah Pak Rusa’. Kemudian Putri Anam pergi ke rumah Pak Rusa’ sesampainya di rumah Pak Rusa’, Pak Rusa’ pun berkata kepada Putri Anam.

” Putri, putri, buburkanlah saya”, kata Pak Rusa’

” Iya’ jawab tuan putri.

Maka Putri Anampun membuat bubur dan haripun menjelang siang, seperti biasa bubur itupun menjadi dingin.

” Makanlah, sudah dingin”, kata Putri Anam

” Iya, jawab Pak Rusa’.

Belum menjelang siang sudah dikatakannya dingin bubur tersebut, kata Pak Rusa’. Maka Pak Rusa’ makan bubur tersebut. Namun pada saat Pak Rusa’, akan memakannya, panas bukan main bubur tersebut. Rasa terbakar mulut Pak Rusa’. Tunggu kau tuan putri, jawab Pak Rusa’ sambil mengumpat. Menjelang malam kita akan bercerita tuan putri kata Pak Rusa’.

” Apa yang berbunyi riuh rendah tuan putri? tanya Pak Rusa’

” Itu orang menumbung emping di siang hari, Pak Rusa’ jawab Tuan Putri

” Apa yang dikipas-kipas, tuan putri? tanya Pak Rusa’

” Orang sedang menyapu lantai di siang hari, Pak Rusa’, kata tuan putri

” Apa yang terang benderang, tuan putri ? ” tanya Pak Rusa’

” Bintang Timur tanda hari akan siang, Pak Rusa’, kata Tuan Putri

” Apa yang bergoyang goyang tuan putri ?, tanya Pak Rusa’

” Daun Simpur ditiup angin, Pak Rusa’, kata tuan putri

” Apa yang bergerak gerak, tuan putri ? tanya Pak Rusa

” Hanyut kayu besar dari hulu Pak Rusa’, kata tuan putri

Buburkan lagi saya tuan putri, kata Pak Rusa’. Menjelang siang nanti artinya bubur tersebut sudah dingin kata Pak Rusa’. Belum lagi hari menjelang siang sudah dikatakannya dingin bubur tersebut. Setelah itu dimakannyalah bubur yang lagi panas tersebut. Sekali lagi Pak Rusa’ merasa dibohongi oleh Putri Anam. Tunggu kau, kata Pak Rusa’ sambil mengumpat. Nanti jika tuan putri pulang ambillah labu yang terletak di bawah dapur. Ambillah sesuka hatimu, kata Pak Rusa’ yang ringankah atau yang berat, Oh kalau begitu saya memilih yang berat saja, banyak isinya. Nanti sesampai di rumah tutup pintu, tutup jendela turunkan kelambu. ” Baiklah Pak Rusa’, kata Putri Anam.

Maka sesampai di rumah Putri Anam pun menutup pintu, menutup jendela menurunkan kelambu, kemudian dibelahnya buah labu tersebut, betapa terkejutnya sang Putri Anam, bukannya emas yang didapat malah sebaliknya celaka yang didapat karena yang keluar dari dalam buah labu tersebut ular, kalajengking, lipan dan matilah Putri Anam tersebut digigit binatang yang keluar dari buah labu tersebut.

Begitulah ceritanya balasan orang yang suka berbohong dan tidak sabar.

Asal Usul Burung Ruai


Konon pada zaman dahulu di daerah Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), tepatnya di pedalaman benua Bantahan sebelah Timur Kota Sekura Ibukota Kecamatan Teluk Keramat yang dihuni oleh Suku Dayak, telah terjadi peristiwa yang sangat menakjubkan untuk diketahui dan menarik untuk dikaji, sehingga peristiwa itu diangkat ke permukaan.

Menurut informasi orang bahwa di daerah tersebut terdapat sebuah kerajaan yang kecil, letaknya tidak jauh dari Gunung Bawang yang berdampingan dengan Gunung Ruai. Tidak jauh dari kedua gunung dimaksud terdapatlah sebuah gua yang bernama “Gua Batu”, di dalamnya terdapat banyak aliran sungai kecil yang di dalamnya terdapat banyak ikan dan gua tersebut dihuni oleh seorang kakek tua renta yang boleh dikatakan sakti.

Cerita dimulai dengan seorang raja yang memerintah pada kerajaan di atas dan mempunyai tujuh orang putri, raja itu tidak mempunyai istri lagi sejak meninggalnya permaisuri atau ibu dari ketujuh orang putrinya. Di antara ketujuh orang putri tersebut ada satu orang putri raja yang bungsu atau Si Bungsu. Si Bungsu mempunyai budi pekerti yang baik, rajin, suka menolong dan taat pada orang tua, oleh karena itu tidak heran sang ayah sangat menyayanginya. Lain pula halnya dengan keenam kakak-kakaknya, perilakunya sangat berbeda jauh dengan Si Bungsu, keenam kakaknya mempunyai hati yang jahat, iri hati, dengki, suka membantah orang tua, dan malas bekerja. Setiap hari yang dikerjakannya hanya bermain-main saja.

Dengan kedua latar belakang inilah, maka sang ayah (raja) menjadi pilih kasih terhadap putri-putrinya. Hampir setiap hari keenam kakak Si Bungsu dimarah oleh ayahnya, sedangkan Si Bungsu sangat dimanjakannya. Melihat perlakuan inilah maka keenam kakak Si Bungsu menjadi dendam, bahkan benci terhadap adik kandungnya sendiri, maka bila ayahnya tidak ada di tempat, sasaran sang kakak adalah melampiaskan dendam kepada Si Bungsu dengan memukul habis-habisan tanpa ada rasa kasihan sehingga tubuh Si Bungsu menjadi kebiru-biruan dan karena takut dipukuli lagi Si Bungsu menjadi takut dengan kakaknya.

Untuk itu segala hal yang diperintahkan kakaknya mau tidak mau Si Bungsu harus menurut seperti: mencuci pakaian kakaknya, membersihkan rumah dan halaman, memasak, mencuci piring, bahkan yang paling mengerikan lagi, Si Bungsu biasa disuruh untuk mendatangkan beberapa orang taruna muda untuk teman/menemani kakaknya yang enam orang tadi. Semua pekerjaan hanya dikerjakan Si Bungsu sendirian sementara ke enam orang kakaknya hanya bersenda gurau saja.

Sekali waktu pernah akibat perlakuan keenam kakaknya itu terhadap Si Bungsu diketahui oleh sang raja (ayah) dengan melihat badan (tubuh) Si Bungsu yang biru karena habis dipukul tetapi takut untuk mengatakan yang sebenarnya pada sang ayah, dan bila sang ayah menanyakan peristiwa yang menimpa Si Bungsu kepada keenam kakaknya maka keenam orang kakaknya tersebut membuat alasan-alasan yang menjadikan sang ayah percaya seratus persen bahwa tidak terjadi apa-apa. Salah satu yang dibuat alasan sang kakak adalah sebab badan Si Bungsu biru karena Si Bungsu mencuri pepaya tetangga, kemudian ketahuan dan dipukul oleh tetangga tersebut. Karena terlalu percayanya sang ayah terhadap cerita dari sang kakak maka sang ayah tidak memperpanjang permasalahan dimaksud.

Begitulah kehidupan Si Bungsu yang dialami bersama keenam kakaknya, meskipun demikian Si Bungsu masih bersikap tidak menghadapi perlakuan keenam kakaknya, kadang-kadang Si Bungsu menangis tersedu-sedu menyesali dirinya mengapa ibunya begitu cepat meninggalkannya. sehingga ia tidak dapat memperoleh perlindungan. Untuk perlindungan dari sang ayah boleh dikatakan masih sangat kurang. Karena ayahnya sibuk dengan urusan kerajaan dan urusan pemerintahan.

Setelah mengalami hari-hari yang penuh kesengsaraan, maka pada suatu hari berkumpullah seluruh penghuni istana untuk mendengarkan berita bahwa sang raja akan berangkat ke kerajaan lain untuk lebih mempererat hubungan kekerabatan diantara mereka selama satu bulan. Ketujuh anak (putrinya) tidak ketinggalan untuk mendengarkan berita tentang kepergian ayahnya tersebut. Pada pertemuan itu pulalah diumumkan bahwa kekuasaan sang raja selama satu bulan itu dilimpahkan kepada Si Bungsu, yang penting bila sang raja tidak ada di tempat, maka masalah-masalah yang berhubungan dengan kerajaan (pemerintahan) harus mohon (minta) petunjuk terlebih dahulu dari Si Bungsu. Mendengar berita itu, keenam kakaknya terkejut dan timbul niat masing-masing di dalam hati kakaknya untuk melampiaskan rasa dengkinya, bila sang ayah sudah berangkat nanti. Serta timbul dalam hati masing-masing kakaknya mengapa kepercayaan ayahnya dilimpahkan kepada Si Bungsu bukan kepada mereka.

Para prajurit berdamping dalam keberangkatan sang raja sangat sibuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Maka pada keesokan harinya berangkatlah pasukan sang raja dengan bendera dan kuda yang disaksikan oleh seluruh rakyat kerajaan dan dilepas oleh ketujuh orang putrinya.

Keberangkatan sang ayah sudah berlangsung satu minggu yang lewat. Maka tibalah saatnya yaitu saat-saat yang dinantikan oleh keenam kakaknya Si Bungsu untuk melampiaskan nafsu jahatnya yaitu ingin memusnahkan Si Bungsu supaya jangan tinggal bersama lagi dan bila perlu Si Bungsu harus dibunuh. Tanda-tanda ini diketahui oleh Si Bungsu lewat mimpinya yang ingin dibunuh oleh kakanya pada waktu tidur di malam hari.

Setelah mengadakan perundingan di antara keenam kakaknya dan rencanapun sudah matang, maka pada suatu siang keenam kakak di bungsu tersebut memanggil Si Bungsu, apakah yang dilakukannya?. Ternyata keenam kakanya mengajak Si Bungsu untuk mencari ikan (menangguk) yang di dalam bahasa Melayu Sambas mencari ikan dengan alat yang dinamakan tangguk yang dibuat dari rotan dan bentuknya seperti bujur telur (oval). Karena sangat gembira bahwa kakaknya mau berteman lagi dengannya, lalu Si Bungsu menerima ajakan tersebut. Padahal dalam ajakan tersebut terselip sebuah balas dendam kakaknya terhadap Si Bungsu, tetapi Si Bungsu tidak menduga hal itu sama sekali.

Tanpa berpikir panjang lagi maka berangkatlah ketujuh orang putri raja tersebut pada siang itu, dengan masing-masing membawa tangguk dan sampailah mereka bertujuh di tempat yang akan mereka tuju (lokasi menangguk), yaitu gua batu, Si Bungsu disuruh masuk terlebih dahulu ke dalam gua, baru diikuti oleh keenam kakaknya. Setelah mereka masuk, Si Bungsu disuruh berpisah dalam menangguk ikan supaya mendapat lebih banyak dan ia tidak tahu bahwa ia tertinggal jauh dengan kakak-kakanya.

Si Bungsu sudah berada lebih jauh ke dalam gua, sedangkan keenam kakaknya masih saja berada di muka gua dan mendoakan supaya Si Bungsu tidak dapat menemukan jejak untuk pulang nantinya. Keenam kakaknya tertawa terbahak-bahak sebab Si Bungsu telah hilang dari penglihatan. Suasana gua yang gelap gulita membuat Si Bungsu menjadi betul-betul kehabisan akal untuk mencari jalan keluar dari gua itu. Tidak lama kemudian keenam kakaknya pulang dari gua batu menuju rumahnya tanpa membawa Si Bungsu dan pada akhirnya Si Bungsu pun tersesat.

Merasa bahwa Si Bungsu telah dipermainkan oleh kakaknya tadi, maka tinggallah ia seorang diri di dalam gua batu tersebut dan duduk bersimpuh di atas batu pada aliran sungai dalam gua untuk meratapi nasibnya yang telah diperdayakan oleh keenam kakaknya, Si Bungsu hanya dapat menangis siang dan malam sebab tidak ada satupun makhluk yang dapat menolong dalam gua itu kecuali keadaan yang gelap gulita serta ikan yang berenang kesana kemari.

Bagaimana nasib Si Bungsu? tanpa terasa Si Bungsu berada dalam gua itu sudah tujuh hari tujuh malam lamanya, namun ia masih belum bisa untuk pulang, tepatnya pada hari ketujuh Si Bungsu berada di dalam gua itu, tanpa disangka-sangka terjadilah peristiwa yang sangat menakutkan di dalam gua batu itu, suara gemuruh menggelegar-gelegar sepertinya ingin merobohkan gua batu tersebut, Si Bungsu pun hanya bisa menangis dan menjerit-jerit untuk menahan rasa ketakutannya, maka pada saat itu dengan disertai bunyi yang menggelegar muncullah seorang kakek tua renta yang sakti dan berada tepat di hadapan Si Bungsu, lalu Si Bungsu pun terkejut melihatnya, tak lama kemudian kakek itu berkata,” Sedang apa kamu disini cucuku?”, lalu Si Bungsu pun menjawab,” Hamba ditinggalkan oleh kakak-kakak hamba, kek!”, maka Si Bungsu pun menangis ketakutan sehingga air matanya tidak berhenti keluar, tanpa diduga-duga pada saat itu dengan kesaktian kakek tersebut titik-titik air mata Si Bungsu secara perlahan-lahan berubah menjadi telur-telur putih yang besar dan banyak jumlahnya, kemudian Si Bungsu pun telah diubah bentuknya oleh si kakek sakti menjadi seekor burung yang indah bulu-bulunya. Si Bungsu masih bisa berbicara seperti manusia pada saat itu, lalu kakek itu berkata lagi, “Cucuku aku akan menolong kamu dari kesengsaraan yang menimpa hidupmu tapi dengan cara engkau telah kuubah bentukmu menjadi seekor burung dan kamu akan aku beri nama Burung Ruai, apabila aku telah hilang dari pandanganmu maka eramlah telur-telur itu supaya jadi burung-burung sebagai temanmu!”. Kemudian secara spontanitas Si Bungsu telah berubah menjadi seekor burung dengan menjawab pembicaraan kakek sakti itu dengan jawaban kwek … kwek … kwek … kwek …. kwek, Bersamaan dengan itu kakek sakti itu menghilang bersama asap dan burung ruai yang sangat banyak jumlahnya dan pada saat itu pula burung-burung itu pergi meninggalkan gua dan hidup di pohon depan tempat tinggal Si Bungsu dahulu, dengan bersuara kwek … kwek …. kwek … kwek …. kwek, Mereka menyaksikan kakak-kakak Si Bungsu yang dihukum oleh ayahnya karena telah membunuh Si Bungsu.

Sumber: sambas.go.id

Minggu, 28 Juni 2009

batu belah batu betangkup

Kononnya, pada waktu dahulu ada sebuah gua ajaib di daerah sambas. Gua ini digelar batu belah batu bertangkup dan amat ditakuti oleh ramai penduduk kampung. Pintu gua ini boleh terbuka dan tertutup bila diseru dan sesiapa yang termasuk ke dalam gua itu tidak dapat keluar lagi.

Suatu masa dahulu di sebuah kampung yang bernama pemangkat yang berdekatan dengan gua ajaib ini, tinggal Mak Tanjung bersama dua orang anaknya, Melur dan Pekan. Mak Tanjung asyik bersedih kerana baru kehilangan suami dan terpaksa menjaga kedua-dua anaknya dalam keadaan yang miskin dan daif.

Pada suatu hari, Mak Tanjung teringin makan telur ikan tembakul. Dia pun pergi ke sungai untuk menangkapnya. Bukan main suka hatinya apabila dapat seekor ikan tembakul.

"Wah, besarnya ikan yang mak dapat !" teriak Pekan kegembiraan.

" Ya, ini ikan tembakul namanya. Mak rasa ikan ini ada telurnya. Sudah lama mak teringin untuk memakan telur ikan tembakul ini," kata Mak Tanjung.

Mak Tanjung terus menyiang ikan tembakul itu. Dia pun memberikan kepada Melur untuk dimasak gulai.

" Masaklah gulai ikan dan goreng telur ikan tembakul ini. Mak hendak ke hutan mencari kayu. Jika mak lambat pulang, Melur makanlah dahulu bersama Pekan. Tapi, jangan lupa untuk tinggalkan telur ikan tembakul untuk mak," pesan Mak Tanjung kepada Melur.

Setelah selesai memasak gulai ikan tembakul, Melur menggoreng telur ikan tembakul pula. Dia terus menyimpan sedikit telur ikan itu di dalam bakul untuk ibunya. Melur dan Pekan tunggu hingga tengah hari tetapi ibu mereka tidak pulang juga. Pekan mula menangis kerana lapar. Melur terus menyajikan nasi, telur ikan dan gulai ikan tembakul untuk dimakan bersama Pekan.

" Hmmm..sedap betul telur ikan ini," kata Pekan sambil menikmati telur ikan goreng.

" Eh Pekan, janganlah asyik makan telur ikan sahaja. Makanlah nasi dan gulai juga," pesan Melur kepada Pekan.

" Kakak, telur ikan sudah habis. Berilah Pekan lagi. Belum puas rasanya makan telur ikan tembakul ini ," minta Pekan.

" Eh, telur ikan ini memang tidak banyak. Nah, ambil bahagian kakak ini," jawab Melur.

Pekan terus memakan telur ikan kepunyaan kakaknya itu tanpa berfikir lagi. Enak betul rasa telur ikan tembakul itu! Setelah habis telur ikan dimakannya, Pekan meminta lagi.

" Kak, Pekan hendak lagi telur ikan," minta Pekan kepada Melur.

" Eh , mana ada lagi ! Pekan makan sahaja nasi dan gulai ikan. Lagipun, telur ikan yang tinggal itu untuk mak. Mak sudah pesan dengan kakak supaya menyimpankan sedikit telur ikan untuknya ," kata Melur.

Namun, Pekan tetap mendesak dan terus menangis. Puas Melur memujuknya tetapi Pekan tetap berdegil. Tiba-tiba, Pekan berlari dan mencapai telur ikan yang disimpan oleh Melur untuk ibunya.

" Hah, rupa-rupanya ada lagi telur ikan! " teriak Pekan dengan gembiranya.

" Pekan! Jangan makan telur itu! Kakak simpankan untuk mak," teriak Melur.

Malangnya, Pekan tidak mempedulikan teriakan kakaknya, Melur dan terus memakan telur ikan itu sehingga habis. Tidak lama kemudian, Mak Tanjung pun pulang. Melur terus menyajikan makanan untuk ibunya.

" Mana telur ikan tembakul, Melur? " tanya Mak Tanjung.

" Err... Melur ada simpankan untuk mak, tetapi Pekan telah menghabiskannya. Melur cuba melarangnya tetapi...."

" Jadi, tiada sedikit pun lagi untuk mak? " tanya Mak Tanjung.

Melur tidak menjawab kerana berasa serba salah. Dia sedih melihat ibunya yang begitu hampa kerana tidak dapat makan telur ikan tembakul.

" Mak sebenarnya tersangat ingin memakan telur ikan tembakul itu. Tetapi...." sebak rasanya hati Mak Tanjung kerana terlau sedih dengan perbuatan anaknya, Pekan itu.

Mak Tanjung memandang Melur dan Pekan dengan penuh kesedihan lalu berjalan menuju ke hutan. Hatinya bertambah pilu apabila mengenangkan arwah suaminya dan merasakan dirinya tidak dikasihi lagi. Mak Tanjung pasti anak-anaknya tidak menyanyanginya lagi kerana sanggup melukakan hatinya sebegitu rupa.

Melur dan Pekan terus mengejar ibu mereka dari belakang. Mereka berteriak sambil menangis memujuk ibu mereka supaya pulang.

" Mak, jangan tinggalkkan Pekan! Pekan minta maaf ! Mak...." jerit Pekan sekuat hatinya.

Melur turut menangis dan berteriak, " Mak, Kasihanilah kami! Mak!"

Melur dan Pekan bimbang kalau-kalau ibu mereka merajuk dan akan pergi ke gua batu belah batu bertangkup. Mereka terus berlari untuk mendapatkan Mak Tanjung.

Malangnya, Melur dan Pekan sudah terlambat. Mak Tanjung tidak mempedulikan rayuan Melur dan Pekan lalu terus menyeru gua batu belah batu bertangkup agar membuka pintu. Sebaik sahaja Mak Tanjung melangkah masuk, pintu gua ajaib itu pun tertutup.

Melur dan Pekan menangis sekuat hati mereka di hadapan gua batu belah batu bertangkup. Namun ibu mereka tidak kelihatan juga.

Dan sampai sekarang tempat itu disebut tanjung batu yang terletak di Kecamatan Pemangkat.

SEMANGKA EMAS

P ada zaman dahulu kala, di Sambas hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Saudagar tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yang sulung bernama Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Muzakir sangat loba dan kikir. Setiap hari kerjanya hanya mengumpulkan uang saja. Ia tidak perduli kepada orang-orang miskin. Sebaliknya Dermawan sangat berbeda tingkah lakunya. Ia tidak rakus dengan uang dan selalu bersedekah kepada fakir miskin.

Sebelum meninggal, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya. Maksudnya agar anak-anaknya tidak berbantah dan saling iri, terutama bila ia telah meninggal kelak.

Muzakir langsung membeli peti besi. Uang bagiannya dimasukkan ke dalam peti tersebut, lalu dikuncinya. Bila ada orang miskin datang, bukannnya ia memberi sedekah, melainkan ia tertawa terbahak-bahak melihat orang miskin yang pincang, buta dan lumpuh itu. Bila orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir memanggil orang gajiannya untuk mengusirnya. Orang-orang miskin kemudian berduyun-duyun datang ke rumah Dermawan.

Dermawan selalu menyambut orang-orang miskin dengan senang hati. Mereka dijamunya makan dan diberi uang karena ia merasa iba melihat orang miskin dan melarat. Lama kelamaan uang Dermawan habis dan ia tidak sanggup lagi membiayai rumahnya yang besar. Ia pun pindah ke rumah yang lebih kecil dan harus bekerja. Gajinya tidak seberapa, sekedar cukup makan saja. Tetapi ia sudah merasa senang dengan hidupnya yang demikian. Muzakir tertawa terbahak-bahak mendengar berita Dermawan yang dianggapnya bodoh itu. Muzakir telah membeli rumah yang lebih bagus dan kebun kelapa yang luas. Tetapi Dermawan tidak menghiraukan tingkah laku abangnya.

Suatu hari Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu mencicit-cicit kesakitan "Kasihan," kata Dermawan. "Sayapmu patah, ya?" lanjut Dermawan seolah-olah ia berbicara dengan burung pipit itu. Ditangkapnya burung tersebut, lalau diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. "Biar kucoba mengobatimu," katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan.

Burung itu menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung itu telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan sesaat kemudian ia pun terbang. Keesokan harinya ia kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, dan biji itu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan tertawa melihatnya. Biji itu biji biasa saja. Meskipun demikian, senang juga hatinya menerima pemberian burung itu. Biji itu ditanam di belakang rumahnya.

Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Yang tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Pada mulanya Dermawan menyangka akan banyak buahnya. Tentulah ia akan kenyang makan buah semangka dan selebihnya akan ia sedekahkan. Tetapi aneh, meskipun bunganya banyak, yang menjadi buah hanya satu. Ukuran semangka ini luar biasa besarnya, jauh lebih dari semangka umumnya. Sedap kelihatannya dan harum pula baunya. Setelah masak, Dermawan memetik buah semangka itu. Amboi, bukan main beratnya. Ia terengah-engah mengangkatnya dengan kedua belah tangannya. Setelah diletakkannya di atas meja, lalu diambilnya pisau. Ia membelah semangka itu. Setelah semangka terbelah, betapa kagetnya Dermawan. Isi semangka itu berupa pasir kuning yang bertumpuk di atas meja. Ketika diperhatikannya sungguh-sungguh, nyatalah bahwa pasir itu adalah emas urai murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia mendengar burung mencicit di luar, terlihat burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap di sebuah tonggak. "Terima kasih! Terima kasih!" seru Dermawan. Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi.

Keesokan harinya Dermawan memberli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas sekali. Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Tetapi Dermawan tidak akan jatuh miskin seperti dahulu, karena uangnya amat banyak dan hasil kebunnya melimpah ruah. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Muzakir yang ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepadanya tentang kisahnya.

Mengetahui hal tersebut, MUzakir langsung memerintahkan orang-orang gajiannya mencari burung yang patah kaki atau patah sayapnya di mana-mana. Namun sampai satu minggu lamanya, seekor burung yang demikian pun tak ditemukan. MUzakir sungguh marah dan tidak dapat tidur. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya seorang gajiannya untuk menangkap burung dengan apitan. Tentu saja sayap burung itu menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Burung itu pun kembali kepada Muzakir untuk memberikan sebutir biji. Muzakir sungguh gembira.

Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya. Tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Ketika dipanen, dua orang gajian Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil menjerit-jerit. Orang yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengan riuhnya.

(diolah dari Cerita Rakyat dari Kalimantan Barat 2, Syahzaman, PT.Grasindo, 1995)